
Binar dunia
hiburan memang sangat menjajikan. Ketenaran yang bisa didapat dengan singkat
dan job-job manggung yang nominalnya selangit memang sakti membuat kita menjadi
orang kaya baru. Tak bisa dipungkiri bahwa hinggar binar gemerlap keartisan
telah membuat beberapa orang indonesia bahkan aparat negara lupa akan tugasnya.
Bahkan tak tanggung-tanggung mereka rela melepas jabatan mereka demi ketenaran
yang sesaat.
Dulu yang semula rasa percaya masyarakat terhadap polisi perlahan mulai tumbuh, sekarang kembali pudar seiring tindakan neko-neko polisi. Banyak kalangan menerima hal ini dengan lapang, dengan dalih bahwa polisi juga manusia yang pastinya juga memiliki bakat yang perlu dikembangkan. Namun tak sedikit juga kalangan yang mengecam pembela negara ini. Sebenarnya tak hanya aparat pemerintah yang beralih jalur dari kesatuan menjadi artis beken, tapi banyak pula artis beken yang alih arah menduduki meja pemerintahan. Dengan mengandalkan ketenaran mereka menjajaki dunia pemerintahan. Bila kita tela’ah, hal ini hampir sama namun yang membedakan hanya bidang yang mereka geluti. Bila Norman Kamaru rela melepas jabatan briptunya demi chaiya-chaiya, maka Eko Patrio rela melepas srimulat demi kursi di DPR. Maka kemampuan membela, mewakili, dan menyuarakan suara rakyat pun dipertanyakan.
Tak bisa
dipungkiri juga bahwa sebagian masyarakat senang dengan kehadiran sosok tampan
yang juga gagah di TV, tapi bukankah dengan adanya iming-iming ketenearan tersebut
akan meluruhkan secara perlahan pamor garang dari polisi. Kewibawaan polisi pun
akan ikut menurun tanpa disadari sejalan dengan mereka terlihat “ konyol “ di
TV, sosok yang seharusnya menjadi panutan, pelindung dan sosok yang mengayomi
tapi malah menjadi sosok yang memiliki kedudukan sama dengan rakyat jelata
lain. Padahal mereka sendirilah yang memilih untuk menjadi beda dan dipandang
hormat oleh masyarakat. Ingat !, malaikat tetap akan menjadi malaikat dia tidak
mungkin berubah menjadi manusia. Dan tugasnya pun tak bisa digantikan oleh
manusia. Sama halnya dengan polisi. Polisi akan tetap menjadi polisi, karena
tak bisa mengingkari ikrarnya sebagai polisi. Polisi tidak diciptakan untuk
menjadi bahan tontonan, tapi polisi diciptakan untuk melindungi tontonan. Coba
kita bayangkan, bila biasanya Norman Kamaru yang dulunya masih menjabat sebagai
polisi, biasanya menjaga mengamankan berbagai tontonan atau acara hiburan.
Namun setelah namanya melejit lewat lagu hindia itu, dengan seragam di badan
dia dikawal oleh polisi. Pertanyaannya, dimanakah pamor “ ngerinya “? Dimanakah
pamor “ saktinya “?. Semuanya seakan lenyap oleh teriakan penggemar dan bias
khayal ketenaran sesaat.
by: Ria Novita












0 komentar:
Posting Komentar