
“ Kerakyatan yang di pimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan “ , beginilah bunyi sila keempat
pancasila. Dari sila ini bisa diketahui bahwa seluruh masyarakat memiliki
kewajiban, kedudukan dan hak yang sama. Namun pada kenyataannya hukum di
Indonesia tak mampu mengamalkan sila ini secara keseluruhan. Sebagai bukti
kelemahan hukum di Indonesia adalah kasus sandal jepit beberapa waktu yang lalu.
Mungkin benar kata orang pintar di luar sana bahwa menyelesaikan kasus besar
seperti korupsi tak semudah menyelesaikan kasus sandal jepit. Tapi kita sebagai
orang awam pun pastinya juga bisa merasakan bahwa adanya kecacatan dalam hukum
Indonesia. Orang jelata yang seharusnya dilindungi malah dijadikan pelampiasan
hukum yang tidak kesampaian.
Kasus yang berlarut-larut sampai sekarang ini sebenaranya bukan perwujudan dari tidak siapnya atau tidak mampunya hukum Indonesia menangani permasalahan masyarakat Indonesia yang semakin komples, melainkan ketidak sanggupan oknum-oknum pemerintahan dalam memecahkan permasalahan. Suap kerap kali disebut sebagai dalang dari busuknya hukum di Indonesia, bahkan saking terkenalnya kata suap, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah pun dapat di jual dengan mudah. Sekarang yang menjadi penyakit utama negri ini adalah belum di temukannya orang yang benar-benar bisa menegakkan hukum sesuai pancasila.
Kita kembali ke permasalahan klasik yang di
derita Indonesia. Tidak adilnya perhukuman di Indonesia, seperti penjara untuk
napi pencuri, pencopet, pembunuhan atau tindak kejahatan lainnya. Kebanyakan
penjara untuk mereka tak lebih dari petak 2 kali 2 meter yang pengap, kotor dan
gelap. Hal ini berbeda jauh dengan penjara bagi koruptor-koruptor yang sudah
memakan harta haram senilai ratusan juta rupiah bahkan mereka bertahan sampai
puluhan tahun dengan uang haram mereka tanpa rasa takut. Mereka
bersenang-senang dari awal mereka korupsi bahkan sampai mereka berada di bui.
Bedakan dengan mereka yang mencuri ayam di pasar atau mencopet di pasar grosir,
hasil jarahan mereka yang tak seberapa harus mereka bayar dengan tahunan
tinggal di gudang tikus dan penyakit dengan mereka yang mencuri dengan
diam-diam pula tapi dengan sekali jarahan ratusan juta bsa dikantongi. Tak
hanya itu walau mereka sudah berada di bui mereka masih ebas berkeliling dunia
untuk bertamasya bahkan untuk mengkonsumsi barang haram. Sekarang pertanyaan
baru, bukankah mereka sudah di bui, tapi kenapa mereka masih saja seperti
berada di rumah sendiri?.
Inilah salah satu contoh bobroknya jalannya
hukum di Indonesia.
by: Ria Novita












0 komentar:
Posting Komentar